Ketulusan, Luka Keluarga, dan Obsesi terhadap Kematian

Apresiasi terhadap Pementasan Drama "Matahari di Sebuah Jalan Kecil", "Bulan Bujur Sangkar", dan "Titik-Titik Hitam" 




Rabu (17/12) di Teater Mursal Esten merupakan hari yang ditunggu-tunggu mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia setelah melewati proses panjang dalam mempersiapkan pementasan drama. Ada 11 kelompok drama yang mempertunjukkan hasil tafsiran mereka terhadap enam judul naskah drama. Tiga di antaranya ialah naskah "Matahari di Sebuah Jalan Kecil", "Bulan Bujur Sangkar", dan "Titik-Titik Hitam". Sebagai pertunjukan teater pertama yang saya ampu dalam mata kuliah Apresiasi Drama Indonesia, senang rasanya melihat mereka akhirnya bisa tampil secara maksimal. Maka, dalam tulisan ini saya akan membahas penilaian saya terhadap tiga kelompok drama.

Pementasan 1: Matahari di Sebuah Jalan Kecil

Para pekerja pabrik es sedang bercengkerama
menunggu pesanan dari Simbok datang. (foto: panitia)


Harapan di Tengah Hiruk-Pikuk Dunia

Pementasan drama yang disutradarai oleh Muhammad Gazi Al Ghifari ini menceritakan kejadian di depan sebuah pabrik es. Saat lampu panggung menyala, di sisi kiri tampak Simbok (diperan oleh Fadila Mayora Putri) sedang membereskan dagangan dan di sisi kanan Penjaga Malam (diperan oleh Fatimah) tengah tertidur—kesiangan sebab semalam berusaha menangkap pencuri. Ia terbangun berkat kedatangan salah seorang pekerja pabrik, Si Pendek (diperan oleh Raudatul Wardah)-- sebuah adegan pembuka yang mengundang gelak tawa penonton.

Setelah Penjaga Malam keluar, panggung kemudian dipenuhi oleh pekerja pabrik lainnya yang hendak sarapan: Si Kurus (Shofwatul Kasih), Si Kacamata (Angelina Hariyanti), Si Tua (Beri Khasih Ardian), dan Si Peci (Dina Rahmadani). Seperti layaknya pekerja yang sedang berkumpul, mereka mengeluhkan harga barang yang naik, sementara mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain terus bekerja. Konflik muncul saat Pemuda (diperankan oleh Gazi) turut bergabung dan memesan makanan kepada Simbok. Setelah makan, ia tidak bisa membayar sebab berdasarkan pengakuannya, dompetnya ketinggalan di rumah. Siapa yang akan percaya dengan si Pemuda? 

Penataan Panggung dan Pengaturan Posisi Pemain (Blocking)

Sejak awal pementasan dimulai ada tiga properti besar yang ditata di atas panggung: di sisi kanan berdiri replika dinding pabrik es dan di sisi kiri tertata warung Simbok serta meja makan. Bagian tengah panggung dibiarkan kosong, mungkin, karena di sana akan ada adegan antara Pemuda yang diduga menipu (tidak mau bayar makanan) dan para pekerja yang ingin menghukumnya.

Sayangnya, menurut saya, posisi warung Simbok terlalu mendekati batas kiri panggung (jika dilihat dari kursi penonton). Bahkan hampir mendekati tiang pencahayaan (lighting). Jika warung Simbok dan meja makan digeser sedikit lagi ke kanan, sepertinya akan lebih pas. Penataan panggung ini memengaruhi posisi pemain saat berdialog. Misalnya, saat para pekerja mengobrol mengelilingi tiga sisi meja, otomatis ada pemain yang duduk membelakangi penonton yang menyaksikan pertunjukan dari sisi samping kanan. Selain itu, keberadaan meja makan juga mengikat gerak para pemain. Ini membuat  posisi pemain bertumpuk di sisi kiri sehingga penataan panggung menjadi tidak seimbang.

Sebenarnya, adegan sarapan tidak harus menggunakan meja makan warung. Kru properti bisa menyediakan bangku pendek yang bisa dipindah-pindahkan oleh para pekerja. Mereka bisa duduk menyebar--tetapi tidak terlalu jauh--agar tetap bisa mengobrol sambil sarapan. Dengan begitu, panggung jadi tidak berat sebelah saat adegan berlangsung dan tidak ada pemain yang membelakangi penonton dari samping. 

Bagian tengah panggung yang kosong itu, kemudian terisi saat si Pemuda mulai diinterogasi oleh para pekerja dan juga Simbok. Maka berkumpullah semua pemain di sana secara bertahap--kecuali Penjaga Malam dan Penjual Onde-Onde (yang diperankan oleh Chania Octvahuriana)--dan mereka juga kedatangan Karyawan Senior (diperankan oleh Mutiara Kasih Yunasni). Di adegan ini mulai tampak penumpukan pemain. Hal ini mengakibatkan posisi berdiri pemain yang satu menutupi pemain yang lain. Selain itu, Pemuda yang sedang dihakimi para pekerja acapkali berdialog sambil membelakangi penonton. Hal ini fatal dalam pengaturan posisi pemain karena berakibat ujaran pemain tidak terdengar dan ekspresi tidak terlihat sehingga penonton tidak dapat memahami potongan cerita.

Narasi yang Disuarakan

Pementasan ini melibatkan narator (Nada Celin) untuk membacakan deskripsi dalam naskah. Menurut saya, pementasan drama tidak memerlukan narator. Deskripsi yang berisi penggambaran suasana panggung dan tindakan tokoh tidak perlu disuarakan oleh narator. Mengapa demikian? Pertama, drama ini bukan jenis pewayangan yang membutuhkan dalang sebagai pengantar cerita. Deskripsi yang ada dalam naskah tidak perlu dibacakan, tetapi langsung ditunjukkan dalam aksi dan dialog di atas panggung. Kedua, pembacaan yang dilakukan oleh narator juga tidak terdengar jelas oleh penonton (mungkin karena masalah mikrofon). Selain itu, di beberapa momen suara narator tumpang tindih dengan musik latar. Namun, ternyata tidak hanya satu kelompok dengan naskah ini saja yang menghadirkan narator dalam pementasan. Artinya, perlu adanya persamaan persepsi dalam merancang pementasan drama ini.

Titik-Titik Tawa Pencair Suasana

Di balik penataan panggung dan posisi pemain yang perlu diperbaiki, pementasan ini berhasil menyelesaikan drama dengan baik. Ditambahkan lagi, terdapat pemain figuran yang mengundang titik tawa sehingga dapat menjadi pencair suasana cerita. Di tengah ketegangan antara para pekerja dan Pemuda yang dituduh menipu, muncul Juragan Perempuan (yang diperankan oleh Mila Safitri) disambut dengan musik yang memancing gelak penonton. Kehadiran Juragan Perempuan ini bukan hanya untuk mencairkan suasana, tetapi juga menyelipkan pesan bahwa kejujuran tidak bisa ditukar dengan uang. 

Drama ini berakhir dengan Pemuda yang dibiarkan pergi oleh Simbok. Namun, saat Penjaga Malam datang dan mengatakan bahwa kemungkinan Pemuda itulah pencuri yang tidak berhasil ia tangkap semalam, Simbok pingsan. Adegan ini menjadi penutup cerita yang mengundang tawa penonton karena si Penjaga Malam terkejut dan minta tolong berkali-kali dengan ekspresi yang lucu. 

Menurut saya, drama ini memang sudah seharusnya ditutup dengan tawa seperti kita yang selalu menertawakan kesialan yang kita alami. Simbok yang telah berprasangka baik kepada Pemuda, ternyata kena tipu juga. Sama seperti kita yang terkadang tidak bisa membaca tanda-tanda: mana yang baik, mana yang jahat. "Matahari di Sebuah Jalan Kecil" menunjukkan ketulusan yang terkadang salah alamat. Namun, kehidupan tetap saja berjalan dan kejadian demi kejadian hanya bisa dijadikan pelajaran.

Bagian akhir drama: Simbok pingsan setelah mengetahui sebuah kebenaran.
(foto: panitia)

Terima kasih kepada sutradara dan semua pemain (yang telah disebutkan sebelumnya) serta kru yang bertugas: Vonni Dahayu Amanda dan Ade Silfia (penata rias dan busana); Sherly Ramadhani (tata musik); Yusuf Kalid (penata cahaya), dan Chania Octvahuriana (desain properti). Kalian hebat!


 Pementasan 2: Titik-Titik Hitam

Ibu dan Adang tengah bersiteru di rumah yang mulai suram. (foto: panitia)

Ketika Luka Menganga dan Memporak-porandakan Semuanya

Suasana suram langsung terlihat saat cahaya panggung perlahan menyala. Suara gemuruh hujan menambah kesan yang sama sekali tidak menenangkan di dalam rumah. Cerita dimulai dengan perseteruan antara Ibu (diperankan oleh Vivi Anjelita) dan Adang (diperankan oleh Rizan Akbar). Mereka saling menyalahkan atas kondisi Hartati yang semakin memburuk. Konflik semakin memanas ketika Rahayu (diperankan oleh Eza Dwi Rahayu), yang diduga menjadi penyebab jatuh sakitnya Hartati karena konflik yang telah berlarut-larut, datang ke rumah. Saat ia tengah bercakap-cakap dengan Dr. Gun (diperankan oleh Noviani Suhardesi), semakin terungkaplah dosa-dosa setiap orang di rumah itu. 

Penataan Panggung dan Pengaturan Posisi Pemain (Blocking)

Panggung ditata dengan simetris. Meja dan sofa berada di tengah dengan segala oramen pendukungnya. Di sisi belakang kiri dan kanan panggung terdapat tirai penanda pintu kamar dan pintu keluar. Properti dimanfaatkan dengan baik oleh para pemain. Sebagai drama satu babak, semua peristiwa ditampilkan di bagian tengah ini yang menjelma ruang tamu sebuah rumah. Penataan properti seperti ini memungkinkan posisi pemain menyebar dan membuat penataan panggung menjadi seimbang. Barangkali juga disebabkan pemain yang tidak terlalu banyak sehingga tidak perlu mengkhawatirkan akan terjadi penumpukan pemain di satu titik.

Di beberapa momen, pemain tampak membelakangi penonton. Pertama, saat Ibu menaruh kembali lukisan di atas meja. Gerakan tersebut sebenarnya tidak akan bermasalah jika saja Ibu meletakkan lukisan itu tidak dibarengi dengan dialog. Sayangnya, ujaran yang dituturkan Ibu tidak terdengar begitu jelas karena membelakangi penonton. Kedua, saat Dr. Gun menatap lukisan. Dr. Gun memang tidak menyampaikan apa-apa. Namun, menurut saya, hanya yang membaca naskah drama "Titik-Titik Hitam"-lah yang paham tindakan yang dilakukan Dr. Gun. Pasalnya, penonton tidak bisa melihat ekspresi Dr. Gun karena ia membelakangi penonton. Hal kecil ini perlu diperhatikan dalam sebuah pementasan agar menghindari kesalahan dalam hal posisi pemain. 

Sentuhan Akhir yang Menyentuh

Pementasan yang disutradarai oleh Noviani Suhardesi ini ditutup dengan apik. Berbeda dari naskah dramanya, sosok Hartati (diperankan oleh Anisah Fitri Yani) sebagai simbol kehilangan dan kesedihan muncul setelah lampu padam dan dinyalakan kembali. Diiringi dengan potongan lagu Mencintaimu dari Sal Priadi membuat suasana semakin menyayat-nyayat hati. Apalagi saat Hartati tersenyum ke arah penonton dengan riasan pucat, penonton tercekat. 

Drama ini sejak awal memang menghadirkan emosi yang naik-turun. Ketika dalam keluarga terdapat masalah, seorang anak tidak serta-merta bisa menghardik orang yang sangat mereka hormati. Di sinilah kelihaian pemain dalam mengontrol emosinya sangat dibutuhkan. Drama "Titik-Titik Hitam" mengingatkan kita bahwa setiap kita punya noda masing-masing. 

Sosok Hartati muncul sebagai bagian akhir
dari drama "Titik-Titik Hitam". (foto: panitia)


Terima kasih kepada sutradara dan semua pemain (yang telah disebutkan sebelumnya) serta kru yang bertugas: Halim Azzami Ulfa dan Khairunnisa (penata musik); Navira Farahlita Setia dan Putri Syaharani (penata busana); Alya Putri, Chamelia Deres, dan Azizah Ramadhani (penata rias); Delvia Anggraini dan Vanesa Prima Zelin (desain properti); Silvia Giovani dan Miratih (penata cahaya). Kalian luar biasa!


Pementasan 3: Bulan Bujur Sangkar

Orang Tua dan Perempuan tengah bercengkrama di depan tiang gantungan.
(foto: panitia)

Saat Kematian Menjadi Tujuan Akhir Seseorang

Drama "Bulan Bujur Sangkar" menceritakan tentang Orang Tua (diperankan oleh Muhammad Yusuf) yang memandang kematian sebagai tujuan hidup yang patut ia perjuangkan. Ia berharap ada banyak orang yang mati di tiang gantungan yang ia dirikan. Seorang Anak Muda (diperankan oleh Habib Luqfi) masuk dan bersiteru dengan Orang Tua karena memperdebatkan tentang kematian, kebebasan, dan takdir. Setelah Anak Muda mengucapkan,"Selamat Tinggal!" dan pergi, datang seorang Perempuan (diperankan oleh Sheila Ivana Khalishah) datang mempertanyakan hal yang rasional. Di atas panggung yang menjelma hutan itu juga hadir seorang Gembala (Latifah qorimahtul Fajri) dengan suara merdu. Ia mengabarkan bahwa ada banyak mayat di suatu tempat. Kabar itu merupakan kabar gembira bagi Orang Tua karena baginya: "Aku membunuh. Oleh sebab itu aku ada!"

Penataan Panggung dan Pengaturan Posisi Pemain (Blocking)

Panggung dalam drama yang disutradarai oleh Rifa Amelia Putri ini ditata dengan sangat apik. Tiang gantungan di bagian tengah dengan daun-daun kering di sekitarnya menambah kesan gelap tapi juga syahdu. Dengan pencahayaan yang menguning, tiang gantungan itu tampak gagah berdiri di tengah panggung dengan bagian bawah yang berkilau.

Drama satu babak ini hanya terdiri atas empat pemain, dengan penampilan setiap dua pemain secara bergantian. Hal ini tidak menyulitkan pemain dalam menentukan posisi di atas panggung. Dengan banyaknya pergerakan dan dialog, antar pemain dapat mengontrol geraknya agar tata panggung tetap seimbang.

Desain Properti dan Tata Musik yang Artistik

Drama ini memang berbeda dari dua drama sebelumnya. Dialog dalam "Bulan Bujur Sangkar" penuh dengan kiasan dan makna filosofis tentang kematian. Barangkali drama ini memang bukan tontonan yang dapat dimaknai secara langsung atau untuk hiburan yang membuat penonton tertawa. Oleh karena itulah, desain properti dan musik harus ditonjolkan di pementasan ini. Keduanya berguna sebagai simbol untuk menyampaikan pesan-pesan dengan baik. 

Tiang gantungan yang berdiri di tengah panggung menjadi simbol obsesi yang dimiliki oleh Orang Tua. Sementara itu, musik ditata dengan baik karena dalam pementasan ini, musik bukan sekadar pembangun suasana. Sesuai tuntutan naskahnya pula, musik dan pemain saling berinteraksi, memunculkan tindakan dan ekspresi dari para pemain. Dengan demikian, drama ini dibangun dengan unsur pementasan yang padu.

Tiang gantungan di tengah panggung
"Bulan Bujur Sangkar".
(foto: Indah Permata Sari)

Terima kasih kepada sutradara dan semua pemain (yang telah disebutkan sebelumnya) serta kru yang bertugas: Reva Savitri dan Annisa Septiani (penata busana), Suci Indah Lestari, Zahwa Asysyifa, Indah Permata Sari, Syifa Naila Husna, dan Yulia Eka Putri (desain properti), Selsa Ramadhani dan Asmal Husna Hafizah (penata rias), Fuji Extri Al Gusni (penata cahaya), dan Riska Khairunnisa (penata musik). Kalian berani!


Refleksi Mata Kuliah Apresiasi Drama Indonesia

Setelah tiga tahun mengampu mata kuliah Apresiasi Drama Indonesia, ini merupakan pertama kalinya kami mengadakan pementasan drama sebagai projek akhir mata kuliah. Oleh karena itu, proses pembelajaran selama 16 kali pertemuan pun perlu penyesuaian sehingga terdapat perbedaan dengan dua tahun sebelumnya (lihat di sini: refleksi tahun 2024 dan refleksi tahun 2023). Proses pembelajaran dibagi dalam dua fokus: sebelum UTS mahasiswa mempelajari teori drama dan praktik analisis naskah; setelah UTS mahasiswa mempelajari teori pertunjukan teater dan berlatih dalam kelompok. 

Selama dua bulan mahasiswa mempersiapkan pementasan drama: mengenal olah vokal, olah rasa, dan olah tubuh; menafsirkan naskah dalam bentuk dialog; berinteraksi dengan sesama pemain; mengatur properti, musik, dan busana serta riasan. Pada akhirnya, pementasan berhasil dilaksanakan sebagai hasil kerja keras mereka. 

Terima kasih telah bersemangat sampai akhir, ya!










Komentar

  1. Riska Khairunnisa Sinaga23 Desember 2025 pukul 11.24

    Jujur seneng banget bisa nonton teater hari itu. Jadi kru musik di Bulan Bujur Sangkar rasanya puas banget lihat musik bisa nyatu sama cerita dan bikin suasana makin hidup. Drama lain juga nggak kalah keren, masing-masing punya cara sendiri buat bikin penonton terbawa emosi. Salut banget buat semua teman-teman, baik pemain maupun kru sudah bekerja keras. Kalian bener-bener kerasa di panggung. Bangga bisa jadi bagian dari momen itu bareng kalian.

    Sampai jumpa moment berikutnya dimasa depan 🙌🏻

    BalasHapus
  2. SENENG BANGETTTT dari Pengalaman pementasan hari itu bukan cuma soal nilai, tapi soal kerja sama tim yang luar biasa. Sebagai bagian dari anggota kelompok Titik-Titik Hitam, rasanya campur aduk antara senang dan terharu! Jujur, waktu hari pementasan itu deg-degannya luar biasa, tapi pas sudah naik panggung dan melihat penonton terdiam sambil menyaksikan penampilan kelompok kami, rasanya lega banget. Pengalaman hari itu benar² jadi momen paling berkesan selama kuliah. Terima kasih banyak atas apresiasinya Ibu dan teman² semuanya makin semangat buat belajar seni peran lagi!😍👐

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih (kepada seseorang yang namanya Anonim 😆). Semangat menggali potensi diri!

      Hapus

Posting Komentar