Agar Tidak Kalap Beli Buku: Nih, Rekomendasi Bacaan dari Anak 12 Tahun

Benarkah (Membeli) Buku adalah Kebutuhan?

Sependek ingatanku, aku mulai suka membaca buku saat aku SD. Saat itu aku dibelikan buku oleh mama, novel anak berlabel “untuk 7—12 tahun”. Salah satu penulis favoritku saat itu adalah Fahri Asiza. Apakah kamu juga pernah membaca karya beliau? Aku juga membaca serial Lupus Kecil karya Hilman dan Boim. Masih banyak lagi novel karya penulis Indonesia yang aku baca karena memang dibelikan buku-buku itu.

Aku juga suka mengoleksi komik Conan. Awalnya karena melihat seorang teman membaca Conan di sekolah mengaji. Seingatku, saat itu aku belum pernah membaca komik dan aku tidak tahu serunya membaca komik. Namun, saat itu temanku menyilakanku membaca komiknya dan aku tertarik. Suatu kali, saat kami ke toko Serba Lima Ribu (saat itu sedang hits sekali), aku menemukan Conan—yang tentu saja harganya bukan Rp5.000,00. Lalu, kami membelinya.

Koleksi Buku Masa Kecil hingga Remaja


Setelah beranjak remaja, aku sudah diizinkan memilih buku sendiri. Kami pergi ke toko buku dan biasanya aku membeli buku berlabel teenlit terbitan Gramedia. Dulu tidak ada akses mengulik buku melalui ulasan yang ditulis orang lain. Jadi modalku ketika memilih buku hanyalah membaca sinopsis, menilai judul dan sampulnya, bagus atau tidak.

"Jangan keluar dari toko buku tanpa membeli satu pun buku."

Aku tidak sadar bahwa kedekatanku dengan buku mengubah pola pikirku tentang kebutuhan. Aku merasa ‘membeli buku’ merupakan sebuah keharusan. Gramedia di Padang bagaikan tempat wisata bagi aku dan mama—karena di tempat tinggalku, Bukittinggi, tidak ada toko buku besar. Setiap ke Gramedia, kami tidak pernah tidak membeli buku. Rugi dong, sudah jauh-jauh datang. Begitu pandangan kami saat itu hingga muncul sugesti seperti: jika sudah ke toko buku, tidak boleh keluar dari sana tanpa membeli satu pun buku.

Pola pikir seperti itu terus ada walaupun aku sudah menjadi mahasiswa di Padang—yang artinya aku bisa kapan saja ke toko buku dengan waktu tempuh yang singkat. Aku mulai mengenal betul nama penulis yang karyanya aku sukai. Jika penulis itu menerbitkan buku baru, aku akan buru-buru membelinya. Aku tidak mau ketinggalan. Aku harus menjadi orang pertama yang punya dan membaca buku itu. Aku bahkan tidak memikirkan harga buku itu berapa.

Sampai aku berusia 24 tahun keinginanku untuk mengoleksi buku semakin parah. Aku mudah sekali memutuskan membeli buku tanpa berpikir panjang. Aku mudah terpengaruh: bisa karena rekomendasi orang lain; promosi dari penerbit di sosial media; ada diskon; sampul dan sinopsisnya menarik; dan alasan-alasan lainnya. Yang membuat kondisi ini semakin tidak terkendali adalah aku tidak segera membaca buku itu—bahkan tidak membuka plastiknya atau ternyata buku itu tidak aku sukai setelah aku coba membacanya. Akhirnya di kosku tertumpuk buku-buku yang tidak kubaca.

Aku menganggap buku adalah dewa saat itu. Tidak ada salahnya menghabiskan uang untuk membeli buku. Semua buku pasti bermanfaat. Pikirku kala itu. Entah mengapa aku tidak punya konsep “meminjam”. Aku hanya kenal konsep “memiliki”—barangkali karena terbiasa dari kecil membeli buku. Itu juga yang terjadi saat membeli buku-buku kuliah. Ratusan ribu dengan enteng aku belanjakan untuk membeli buku kuliah—padahal akhirnya tidak kubaca.

Setelah aku menikah, sampailah aku di satu titik bahwa aku tidak bisa lagi seperti dulu. Semuanya berawal saat aku dan suami memindahkan barang-barangku dari kosan ke rumah kontrakan kami. Saat itulah aku sadar bahwa berkardus-kardus dari barangku berisi buku—yang tidak kubaca. Lantas, isi kamar yang kami jadikan gudang juga 80% adalah barang-barangku. Aku menatap kardus-kardus itu lama sekali: aku harus menyortir buku-bukuku—dan menyortir pola pikirku.

Sejak aku berhasil menyortir buku-bukuku, kemudian menyumbangkannya atau menjualnya, aku menjadi lebih selektif dalam memilih buku. Jika dulu bisa saja dalam sebulan paling tidak aku membeli satu buku, semejak menikah itu tidak terjadi lagi. Awalnya memang karena ingin berhemat dan aku selalu berpikir panjang untuk mengeluarkan uang hanya untuk membeli buku. Lama-kelamaan keinginanku untuk “memiliki” terkikis. Aku baru menyadari bahwa yang penting itu “membaca”-nya, bukan “memiliki”-nya.

Perjalananku bersama buku sedikit-banyaknya mengubah kepribadianku juga. Aku belajar menahan diri, memilah kembali antara kebutuhan dan keinginan. Agar aku dapat memilah dengan baik, aku membutuhkan rekomendasi dari orang lain perihal bacaan. 

 

Rekomendasi Bacaan dari Anak Usia 12 Tahun

Aku tidak pernah lagi membeli buku hanya karena sinopsis dan sampulnya menarik. Itu sebuah prestasi, bukan? Kini aku hanya tertarik dengan sebuah buku setelah mempertimbangkan dua hal: (1) mendengar ulasan dari orang-orang yang aku percaya dan (2) sesuai dengan kesukaanku atau kebutuhanku.

Tidak semua ulasan orang lain yang aku yakini sebab kesukaan setiap orang berbeda-beda. Apalagi, belakangan ini aku mulai tahu salah satu kategori buku kesukaanku: buku yang (juga) cocok untuk anak. Biasanya jika ulasan buku itu muncul berkali-kali dari orang yang berbeda dan semuanya mengatakan bagus dengan segala alasannya, aku pasti mulai tertarik. Terlebih lagi jika seseorang itu sudah kukenal dan aku tahu visi-misinya dalam memilih bacaan—bukan sekadar membeli untuk mengoleksi. Salah satunya adalah rekomendasi buku dari Abinaya Ghina Jamela (Naya) dan bundanya, ibu Yona Primadesi.

Dalam dunia literasi anak, sosok bunda Yona sudah tidak asing lagi. Barangkali orang-orang yang sudah mengenalnya pun tahu bahwa beliau sangat selektif dalam memilih bacaan, termasuk untuk anaknya—bacaan yang berkualitas dan bisa mengembangkan daya kekritisan anak. Lalu, apa jadinya saat Naya menceritakan hasil bacaannya dalam bentuk esai? Para pembaca tentu jadi tahu buku-buku bagus versi bunda Yona dan Naya, bukan?

Karena itu, aku iseng saja membuat daftar buku yang disebutkan Naya dalam kumpulan esai terbarunya, Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru. Sesuai pengakuan Naya, buku-buku ini sudah selesai ia baca walaupun tidak semua judul yang benar-benar ia ulas dalam esai-esainya tersebut. Apa saja, sih, buku-buku itu? Ini dia:

  1. Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang karya Luis Sepulveda
  2. The Little Women karya Louisa May Alcott
  3. The Good Wives karya Louisa May Alcott
  4. The Little Men karya Louisa May Alcott
  5. Joe’s Boys karya Louisa May Alcott
  6. Pride and Prejuice karya Jane Austen
  7. Sense and Sensebility karya Jane Austen
  8. Snow Flower karya Lisa See
  9. Empress Orchid karya Anchee Min
  10. The Last Empress karya Anchee Min
  11. Maharani karya Pearl S. Buck
  12. Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden
  13. Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer
  14. Rainbirds karya Clarissa Goenawan
  15. The Perfect World of Miwako Sumida karya Clarissa Goenawan
  16. East of Eden karya John Steinbeck
  17. City of the Beasts karya Isabel Allende
  18. The Japanese Lover karya Isabel Allende
  19. Tahun Penuh Gulma karya Siddhartha Sarma
  20. Uncle Tom’s Cabin Harriet B. Stowe
  21. Matilda karya Roadl Dahl
  22. Fortunately the Milk karya Neil Gaiman
  23. Anne of Green Gables karya Lucy Montgomery

Banyak juga, ya? Itu tentu saja baru sebagian kecil dari daftar bacaan Naya. Masih ada daftar lainnya yang bisa ditemukan jika aku kembali membaca kumpulan esai pertamanya, Mengapa Aku Harus Membaca?.

Aku segera mencari novel karya Clarissa Goenawan
setelah membaca esai Naya.

Buku apa saja yang sudah kubaca? Dari 23 judul buku di atas, aku baru menamatkan dua buku, yaitu Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang karya Luis Sepulveda dan Rainbirds karya Clarissa Goenawan. Saat menulis artikel ini, aku dalam masa membaca The Little Women karya Louisa May Alcott. Ketiga buku ini kukenali setelah membaca ulasan dari Naya.

Aku memang mudah terpengaruh oleh orang lain soal bacaan. Namun, aku rasa ini memiliki sisi negatif. Aku jadi tidak percaya diri dengan referensi bacaanku sendiri. Aku selalu menunggu rekomendasi orang lain, baru kemudian memutuskan untuk membacanya. Ini situasi yang agak buruk, tidak, sih? Apakah kamu juga sepertiku?

 

Mencari Buku Gratis yang Legal

Karena pola pikirku sudah berubah: yang penting baca, bukan punya, akhirnya aku mencari cara agar aku bisa membaca tanpa membeli. Aku tidak mau membeli bukan berarti tidak mau berbagi rezeki dengan penulis. Aku memang sedang berhemat. Ada buku yang sekadar ingin kubaca. Ada buku yang memang ingin aku miliki dengan catatan aku pasti membacanya. Buku dengan kategori kedua ini biasanya buku yang menurutku penting pula dibaca oleh anak-anakku nanti.

Jadi, untuk menebus rasa penasaranku tentang buku yang sedang diperbicangkan orang-orang, aku mengandalkan aplikasi iPusnas. Ini merupakan aplikasi yang dikelola oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Di dalamnya ada beragam buku. Namun, seperti perpustakaan pada umumnya, tidak semua buku ada di sana.

Tampilan Aplikasi iPusnas dan Riwayat Peminjaman Buku

Beruntungnya, beberapa buku yang memang ingin kubaca ada di iPusnas. Bahkan beberapa buku harus mengantre untuk dapat meminjamnya, seperti saat aku hendak meminjam The Little Women karya Louisa May Alcott.

"Pola pikirku sudah berubah: yang penting baca, bukan punya."

Ternyata membaca tanpa memiliki buku tersebut tetap terasa menyenangkan. Aku tidak perlu menyediakan ruang penyimpanan karena memang rumah kontrakanku sudah sesak. Aku juga tidak mau direpotkan dengan buku-buku saat akan pindah rumah. Situasi ini semakin membuatku benar-benar menimbang-nimbang saat akan membeli buku.*

Komentar

  1. Dulu sempat juga ingin mengoleksi buku2 karya Tere Liye.

    Tapi hanya sekedar ingin~


    Benar sekali, kalau ke toko buku nggk beli buku rasanya sia-sia.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Perubahan zaman membawa kepada perubahan pola pikir, itu pasti zaman selalu berkembang sesuai perkembangan teknologi, mantap selalulah berkarya dan berkarya anakku Dewi Syafrina

    BalasHapus
  4. Tak ada alasan untuk tak membaca dan Ipusnas bisa menjadi salah satu alternatif agar tetap terhubung di dunia literasi.

    Salfok sama deretan judul bukunya, keren lengkap banget.

    BalasHapus
  5. Sama dong bacaan kita tentang detective Conan kak.. Aku pun suka bukunya. Tapi bedanya aku pinjam, ga beli, soalnya dulu ga punya uang wkwk

    Sekarang enak sih ada ipusnas bisa baca buku di situ ya.

    BalasHapus
  6. Kalau skrng saya download aplikasi gramedia digital dan patungan sama teman. Lumayan menghemat utk tidak beli buku.

    BalasHapus
  7. Alhamdulillah udah kenal sama aplikasi baca online kayak gramedia online dan ipusnas, jadi bisa ngurangin ketidaktahanan lihat buku diskonan 😂

    BalasHapus
  8. Setujuu kak. Sekarang ini yang punya hobi baca buku sangat dimudahkan. Nggak perlu ngeluarin uang buat beli buku, tapi bisa langsung baca di aplikasi perpus online dan sebagainya..
    Yaa kecuali kalau lagi ada diskonan besar itu lain ceritanya yaa wkwkwkw

    BalasHapus
  9. Jadi penasaran sama Naya dan Bunda Yona ini deh. List bukunya juga menarik. Boleh nih kusimpen buat rekomendasi. Makasih ya mba

    BalasHapus
  10. Waahm. aku baru baca 4 buku, hihi. Fortunately the Milk aku yang paling suka. Selain buku-buku tersebut, buku anak karya Mbak Okky Madasari asyik juga, serial Mata. Kita akan diajak jelajah Nusantara lewat perjalanan Matara. Seru dan keren, Kak.

    BalasHapus
  11. Poin pentingnya adalah, bukan ingin memiliki tapi ingin membaca ya Mba, jadi pinjam juga bisa. Saya dulu juga sempat kalap beli buku. Masih banyak yang belum kebaca tuh. Sedih dih dih.

    Saya sekarang beli buku buat anak-anak saya, mereka belum bisa baca tapi saya koleksi dikit-dikit sambil saya kenalin.

    Selebihnya saya serahkan pada iPusnas hehe

    BalasHapus
  12. Aku termasuk yg sejak kecil kenalin anak sama buku mbak. Alhamdulillah dia sekarang lebih tertarik buku daripada mainan. Bangun minat baca memang butuh usaha

    BalasHapus

Posting Komentar