REVOLUSI PUISIKU


REVOLUSI PUISIKU


Aku masih ingat kapan pertama kali aku membaca puisi. Di depan kelas X.5 saat pelajaran bahasa Indonesia aku “terpaksa” membaca puisiku yang berjudul “Jangan Paksakan!”. Sebelumnya kami diberikan satu bait puisi saduran Chairil Anwar  dan kami mendapat tugas meneruskan bait puisi itu. Maka aku pun menulis puisi seperti ini:

Jangan Paksakan

Mereka tidak merasa terlalu repot
mengajari monyet itu menulis sajak
mula-mula mereka mengikatnya di kursi,
lalu memasang benang pada pensil seputar jarinya
(kertas sudah dipaku di atas meja)*

Tapi ternyata mereka keliru
Monyet itu meronta-ronta
berteriak, ingin bebas dari ikatan
Alamnya bukan ini,
alamnya bukan menulis
Jika saja monyet bisa bicara
maka kata-kata itu yang akan terlontar

Mereka memegangi makhluk itu
untuk tetap diam
Mereka membujuknya,
membujuk untuk membuat coretan
di atas kertas putih itu.

Semakin dibujuk, ia semakin meronta
Namun akhirnya kertas itu ternodai
Ternodai dengan coretan-coretannya
Mereka mengamati kertas itu
Ternyata ada suatu rangkaian kata
“ Jangan paksakan !”
Karya : Dewi Syafrina

*Puisi Chairil Anwar

Beberapa hari setelah itu puisi kami dibagikan kembali. Di sana sudah ada angka-angka yang dilingkari dengan tinta merah. Itulah nilai yang kami dapat dan aku tidak percaya nilai yang aku telah peroleh. Karena nilai itulah aku diperintahkan membacakan puisi karyaku yang berjudul “Jangan Paksakan!” ke depan kelas. Sejak saat itu kecintaanku terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia semakin nyata.
***

Jika mengingat pertama kali membaca puisi di kelas, maka aku juga tidak akan melupakan kapan untuk kedua kalinya aku membacakan puisi. Saat itu, masih di SMA Negeri 2 Bukittinggi, siswa XII IPA 4 diperintahkan menulis sebuah puisi untuk dibacakan di depan kelas. Aku membuka-buka file puisiku tetapi tidak ada yang bagus untuk dibacakan. Maka suatu siang di kelas aku mendapatkan inspirasi. Guru kami bermaksud mengingatkan bahwa hari Jumat merupakan hari terakhir pengumpulan puisi. Beliau pun menulis tulisan ini di papan tulis:
Puisi terakhir Jumat


Saat beliau menuliskan rangkaian kata itu, pandanganku tiba-tiba tertuju pada tulisan “ PUISI TERAKHIR” . Mungkin aku terlalu sensitif dengan kata-kata—yang kukira—puitis dan indah, maka seperti mendapat ilham, aku pun bertekad menulis sebuah puisi yang berjudul “Puisi Terakhir”. Dan puisi itulah yang kubacakan di depan kelas untuk memenuhi daftar nilaiku.

Puisi Terakhir

Tangan ini tak kan lagi mampu bergerak
Jika Kau telah berkehendak
Otak ini tak kan lagi mampu berpikir
Karena Kau Sang penguasa diri
Sesaat pikiran mampu terhenti

Akankah semuanya usai
Di atas kertas puisi terakhirku?
Akankah melayang semua harapan
Karena tanganku lumpuh tak mampu digerakkan?
Akankah tiba balasan padaku
Karena aku hanya mampu
Menulis puisi cinta tak bermakna?

Ampuni aku,
Karena itu bukan puisi cinta terhadap-Mu
Ampuni aku,
Karena hatiku dikotori oleh cinta dunia
Ampuni aku,
Agar aku mati bersama cinta-Mu

Jangan biarkan tanganku lumpuh
Jangan biarkan tanganku berhenti mencengkram kata
Jangan biarkan tanganku menulis puisi
Puisi terakhir yang tak ingin kuciptakan



(Tema : Permohonan)

Bukittinggi, 4 Oktober 2010
Dewi Syafrina

***
Ternyata tidak cukup dua kali aku membacakan puisi di depan kelas. Apalagi saat aku lulus di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah dibenakku terbayang bahwa aku akan kembali bertemu dengan puisi. Tebakanku benar karena saat memasuki semester II aku mengambil mata kuliah Telaah Puisi. Saat itulah tiap-tiap kami—mahasiswa Reguler B 2011—diharuskan untuk membacakan puisi di depan kelas. Maka pada minggu ketiga aku pun membacakan puisi karyaku.

TENTANG HUJAN

Hujan tak kan jera
Malam ini ia semakin mendera
Gelegar memecah langit
Gelagatnya memutus sunyi , menggigit

Hujan tak kan mendengar
Rintih hati yang berbisik
Gelisah mengait rasa yang sangar
Menggelitar hingga tak berkutik

Hujan tak kan henti
Menyikapi hidup tak berarti
Menyusuri zaman yang bertepi
Menggeram menatap bumi

Hujan hanya bisa jatuh
Menggeragap saat kilat menyentuh
Tumpah, membasahi tanah
Membiarkan diri ini basah

Padang, 21 Oktober 2011
Dewi Syafrina

***
Aku menyadari bahwa dari waktu ke waktu cara penulisan puisiku berubah. Puisiku pun berevolusi seiring bergantinya pola pikiran dan tidak ada perubahan yang instan. Semua membutuhkan usaha dan belajar.

Padang, 27 Februari 2012

Komentar

  1. Amazing dw...
    puisi hujan xa mengingatkanku akan dirimu waktu pelajaran telaah puisi d dpan mahasiswa RB...
    daebak

    BalasHapus
  2. haha... terima kasih Diah.... aku tunggu giliranmu membacakan puisi di RBC 1.. :D

    BalasHapus

Posting Komentar