MENCARI INSPIRASI SOSOK BUNG HATTA


MENCARI INSPIRASI SOSOK BUNG HATTA



Saat temanku, Willy Adrian, memberikan informasi tentang Lomba Menulis Cerpen dan Puisi dengan tema “Sosok Bung Hatta di Kehidupan Kita”, semangatku kembali berkobar. Aku ingin ikut serta! Mumpung aku sedang berada di Bukittinggi, kota kelahiran Bung Hatta. Takkan kusia-siakan kesempatan ini. Maka aku berniat mencari informasi tentang Bung Hatta. Aku pun mengajak sahabatku, Debby Honesty, ke Perpustakaan Proklamator Bung Hatta dan Rumah Kelahiran Bung Hatta.

Senin, 11 Juni 2012



Pukul 11.00 aku dan Debby menuju Perpustakaan Proklamator Bung Hatta untuk mencari buku biografi Bung Hatta. Sedikit mendeskripsikan perpustakaan ini, sebelum masuk ke perpustakaan, berbagai macam bawaan harus dititipkan. Kemudian mengisi buku tamu. Saat kamu memasuki pintu masuk perpustakaan, sesungguhnya kami sedang berada di lantai dua. Masih ada satu lantai lagi di bawah yang dihubungkan dengan tangga. Buku yang kucari berada di ruangan referensi, tepatnya di lantai satu. Tidak seperti buku-buku lain, buku-buku pada ruang referensi ini dibatasi kaca. Hanya petugas perpustakaan yang boleh masuk.
“Mau cari apa?” sapa Si Bapak Petugas dengan ramah. Untung saja petugasnya ramah. Biasanya, jika sudah memasuki perpustakaan yang terbayang adalah petugas perpustakaan yang kurang ramah.
“Mau cari buku biografi Bung Hatta, Pak,” jawabku.
“Sebelumnya sudah tahu bagaimana cara meminjamnya?” tanya Si Bapak Petugas.
Kami menggeleng.
Aku saja baru tahu bahwa buku di dalam kaca itu bisa dipinjam. Aku kira hanya untuk pajangan.
“Jika ingin meminjam buku di ruang referensi ini, peminjam diharuskan meninggalkan kartu identitasnya sebagai jaminan,” jelas beliau.
Kami mengangguk-angguk.
“Kalau ingin memfotokopinya akan dibuatkan card passnya agar diizinkan memfotokopi ke luar.”
Kami mengangguk-angguk lagi.
“Jadi gimana?”
Aku dan Debby saling pandang. Bingung. Kemudian mengangguk dengan tampang linglung.
Ya, terserahlah mau ninggalin KTP atau apa, yang jelas buku di balik kaca ini bisa kubaca. Pikirku. Sekarang yang terpikir olehku adalah bagaimana cara mengambil bukunya?
“Nah, di sini semuanya buku tentang Bung Hatta,” kata beliau sambil menunjuk buku-buku yang hanya bisa kulihat dari kaca itu dari jauh. “Mau buku yang mana?”
“Ng....” Aku bingung bagaimana cara memilih bukunya. Bukunya saja hanya bisa dilihat dari balik kaca. Tidak bisa dilihat isinya sekilas seperti memilih-milih buku di rak terbuka. Si Bapak Petugas dengan senang hatinya menjelaskan buku ini tentang ini, kalau buku ini lain lagi. Aku tentu tak mendengar jelas apa yang beliau ucapkan karena beliau berbicara dari balik kaca . Aku malah pura-pura berpikir. Padahal lebih tepatnya bingung dan bengong.
Akhirnya Si Bapak Petugas—yang mungkin menyadari tampang bengongku—mengambil dua buah buku super tebal dan muncul di hadapan kami lagi. Aku melihat-lihat dua buah buku itu sambil menunggu penjelasan.
“Nah, kedua buku ini berisi tentang perjalanan hidup Bung Hatta. Bedanya, yang satu dari sudut pandang Bung Hatta sendiri dan yang satunya lagi dari sudut pandangorang lain.”
Aku menimang-nimang buku pertama. Mungkin ini yang aku butuhkan untuk menulis puisi itu. Namun aku ragu.
“Ng, yang saya butuhkan itu tentang kepribadian Bung Hatta yang patut diteladani, Pak,” katanya bermaksud minta pencerahan.
“Nah, kalau kamu baca buku yang dari sudut pandang Bung Hatta nggak akan ketemu yang kamu cari. Karena kan nggak mungkin Bung hatta itu membanggakan dirinya sendiri untuk diteladani. Ya kan?” Aku mengangguk. “Kan nggak mungkin Bung Hatta sendiri bilang ‘Saya orangnya ramah lho! Saya orangnya baik lho!’”
Aku dan Debby tertawa. Benar juga!
“Berarti yang Adek butuhkan adalah buku yang ini.” Beliau menunjuk buku kedua yang berjudul Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan dan disunting oleh Meutia Farida Swasono yang kemudian—setelah membaca buku itu—kuketahui beliau adalah putri pertama Bung Hatta.



“Mau difotokopi atau tidak?” tanya beliau.
Aku berpikir. Apa yang mau difotokopi? Bukunya saja belum baca!
“Hm, kalau misalnya bapak sudah buatkan pass cardnya, tetapi kami tidak jadi fotokopi, nggak apa-apa kan?” tanya Debby. Aih, sepertinya Debby membaca pikiranku.
“Boleh. Tapi sebelum dibawa keluar, surat ini harus ditandatangani dulu oleh petugas di lantai atas. Kalau kalian fotokopinya nanti kan jadi tidak bisa karena pukul 12.00 waktunya petugas istirahat.”
Aku melirik jam tangan Debby. Setengah jam lagi istirahat.
“Ya sudah, Pak. Buatkan pass card saja,” kataku.
Setelah pass card  itu di tanganku, kami pun permisi menuju lantai atas sambil membawa buku yang akan difotokopi.
“Kita minta saja tanda tangan petugas di atas itu dulu. Setelah itu pass card kan masih di tangan kamu. Nanti kalau mau foto kopi juga, kita tinggal pergi ke luar walaupun petugas sudah istirahat. Kan tanda tangannya sudah kita minta,” usul Debby.
“Ah, iya ya!” sahutku semangat. Pintar sekali kamu, Bee...
Setiba di lantai dua, aku menyerahkan pass card, maksud hati ingin meminta tanda tangan. Namun pass card tersebut diambil oleh petugas dan langsung mempersilakan kami pergi memfotokopi buku yang kupinjam.
“Nanti saat akan mengembalikan buku ini ke ruangan referensi, ambil dulu pass cardnya di sini supaya bisa ambil KTP yang ditinggal di bawah.”
“Ya, Bu,” kataku. Aku hanya menatap Debby dengan pasrah. Idemu tidak berhasil terlaksana, Bee... :(
Kami pun keluar perpustakaan untuk memfotokopi. Aku pun melihat-lihat halaman mana yang mungkin aku butuhkan untuk difotokopi. Fotokopi terletak di lantai dasar kantor Wali Kota Bukittinggi yang terletak di depan perpustakaan. Setelah memfotokopi, kami kembali masuk ke perpustakaan dan langsung menuju lantai dasar.
Kami memilih duduk di sofa kecil agar lebih nyaman dalam membaca. Aku pun mulai menelusuri satu per satu artikel di dalam buku yang kupegang. Sedangkan Debby yang duduk di depanku membaca modul kuliahnya.
Kreatif! Dari pada bengong nungguin temannya baca buku, memang lebih baik baca modul kuliah karena sebentar lagi dia ujian. Ciee.. Rajin ee... :P
Aku mulai membenamkan diri dalam kepribadian Bung Hatta yang setiap kali membacanya aku mengangguk-angguk sambil bergumam, “Oo...gitu.”
***
Tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Mohammad Athar. Athar berarti harum. Namun karena orang tua dan lingkungan sekitarnya sulit menyebutkan “Athar”,  maka beliau pun sehari-hari dipanggil “Attar” dan lama-kelamaan berubah menjadi “Hatta”. Nama Athar kemudian diberikan untuk cucu laki-lakinya.
Sedari kecil, Bung Hatta sudah hemat, tertib, dan disiplin. Uang belanja yang diberikan oleh orangtuanya disusunnya sepuluh-sepuluh dan disimpan di mejanya. Jadi setiap orang mengambil atau mengusiknya, Hatta selalu tahu.
Di sekitar Bung Hatta selalu ada buku. Buku, sudah menjadi bagian dari hidupnya. Di samping membaca, Bung Hatta juga rajin menulis buku. Setiap orang yang meminjam bukunya, selalu dicatat dalam buku: nama, tanggal meminjam, tanga=gal mengembalikannya, serta orang tersebut selalu diingatkannya agar menjaga buku yang dipinjam sebaik-baiknya.
Bung Hatta memang menjaga kerapian buku. Mengutip tulisan H.M.N.M. Hasjim Ning tentang Bung Hatta:
“Pada suatu hari saya membaca buku sambil melipatnya sehingga bagian depan dan bagian kulit belakang buku bertemu satu sama lain. Bung Hatta marah melihatnya. “Tak boleh buku dilipat macam itu,” katanya dengan keras.
Pada kesempatan lain, beliau melihat saya memberi penunjuk halaman dengan cara melipat halaman buku pada bagian yang sedang saya baca. Beliau marah lagi.” (halaman 23)
Bung Hatta selalu bersikap sederhana dalam menanggapi segala hal.  Pada suatu pagi Bung Hatta berjalan keliling sendiri sambil menikmati udara pagi dan memperhatikan bagaimana sifat rakyat itu sebenarnya. Waktu mau pulang, beliau ingin naik bendi sambil berbincang-bincang dengan kusir. Di Bukittinggi, bendi adalah suatu kendaraan rakyat yang sangat populer ketika itu. Bung Hatta pun menanyakan harganya dan menawar. Mendengar tawaran harga Bung Hatta, kusir itu marah dan berkata, “Kalau tidak punya uang tidak usah naik bendi saya!” Si Kusir tidak tahu siapa yang akan naik bendinya. Kalau di tahu, tentu ia bisa pingsan karena sudah menghardik sosok yang dibanggakan dan dicintai orang Minangkabau.
Tanggal 18 November 1945, Bung Hatta menikah dengan Rahmi atau biasa dipanggil Yuke. Mereka dikaruniai tiga orang putri, Meutia, Gemala, dan Halida. Bung hatta mendidik anak-anaknya dengan disiplin. Mereka di sekolahkan di sekolah khatolik yang kedisplinannya ketat. Di samping itu mereka juga belajar mengaji di rumah dengan mendatangkan ustadzah ke rumah Bung Hatta.
Saat ulang tahun ABRI, Bung Hatta yang sudah tua ingin menghadiri upacara HUT ABRI. Namun istrinya melarang karena Bung Hatta mungkin sudah tidak kuat lagi. “Apalagi mereka mungkin sudah lupa siapa Bung Hatta,” tambahnya.
Lalu Bung Hatta menjawab, “Bagiku tidak masalah mereka mengenaliku atau tidak. Yang penting aku tetap merasa bahwa aku adalah pendiri ABRI.” Mendengar kata-kata itu Rahmi pun mengizinkan suaminya pergi.
Kini sosok yang dicinta rakyat itu sudah tidak ada lagi.  Meninggalkan begitu banyak kenangan di mata masyarakat kala itu.
Tanggal 14 Maret 1980. Pekuburan Tanah Kusir. Mohammad Hatta.
***
Masih banyak artikel dalam buku ini yang menceritakan dengan kepribadian Bung Hatta. Namun setelah membaca lebih dari lima artikel, aku rasa sudah cukup. Sudah tergambar bagaimana sosok Bung Hatta di mata kakak-kakaknya, mertuanya, anak-anaknya, dan kerabat-kerabatnya.
Azan udah terdengar beberapa menit yang lalu. Jadi kuputuskan untuk shalat dulu. Inilah yang kusuka dari perpustakaan ini. Ada mushalanya sehingga tidak perlu ke luar untuk melaksanakan shalat.
Selesai shalat aku kembali ke sofa tempat aku membaca tadi dan membuka-buka kembali buku tebal itu. Kubaca sekilas. Aku tidak mood lagi membacanya karena sudah puas menggali sosok Bung Hatta dari beberapa artikel.
Pukul 14.00 kami putuskan untuk mengembalikan buku dan pergi ke tempat selanjutnya.
***
Setelah dari perpustakaan aku dan Debby memutuskan untuk makan di Champion Burger. Mengisi perut di sana sampai pukul 16.00. WIB. Setelah itu kami menuju pasar bawah dengan angkot berwarna kuning.
Pukul 16.15 kami shalat ashar dulu kemudian berjalan kaki menuju Rumah Kelahiran Bung Hatta di jalan Soekarno Hatta no. 37.

Masuk ke rumah ini tidak dikenakan tarif seperti masuk ke tempat wisata atau meseum. Hanya saja, saat kita akan pulang, kita harus mengisi buku tamu untuk mengisi biodata dan pesan kesannya. Tidak lupa sumbangan sekadarnya untuk biaya perawatan rumah.



Pertama kali menginjakkan kaki di rumah kayu itu, ruangan pertama yang kami masuki adalah kamar bujang Bung Hatta. Ruangannya tidak terlalu besar, cukup untuk tempat tidur, meja, dan lemari.


Masuk ke ruangan berikutnya adalah ruang tamu. Di dindingnya banyak terdapat foto-foto dan keterangan tentang kehidupan Bung Hatta.



Kemudian kami masuk ke kamar-kamar anggota keluarganya. Lanjut ke belakang ada dapur, kamar mandi, dan rangkiang. Menuju lantai dua, terdapat kamar Bung Hatta dan kamar kakaknya. Di lantai dua ini juga terdapat meja pertemuan keluarga. Rumah yang sederhana tetapi terkesan megah.

Pukul 17.00 kami pun pulang.
***

BUNG HATTA DALAM SEDERHANA

Jika kau berjalan menuju Jam Gadang
Tampak monumen Bung Hatta, sosoknya seperti nyata
Berseragam yang sekarang tak lagi ada
Tangan kanan terangkat menyapa
Senyumnya tak terlupa

Dia ramah kata mereka
Ia pernah dibentak kusir bendi
saat ingin menawar harga
“Kalau tidak punya uang tidak usah naik bendi saya!”
Si kusir tidak tahu ia sedang berbicara dengan siapa
Tetapi itu tak mengapa
Bung Hatta mengerti rasa berkuasa rakyatnya
mempertahankan harta, ingin merdeka
Dia memandang dengan sederhana



Bukittinggi, 11 Juni 2012

Komentar

  1. huahahaha.
    saya suka
    saya suka
    :)
    :)

    itu puisi yang dikirim dew?

    BalasHapus
  2. makasih Do.... ^_^

    Ya nggak lah wil, ini puisi cadangan. Dewi buat puisi 4 dan yang ini merupakan puisi terbaik dari dua puisi jelek yang tereliminasi.. hahaa

    BalasHapus

Posting Komentar