Karya Terbaru Abinaya Ghina Jamela: Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru

Karya-Karya Abinaya Ghina Jamela

Saat mengetahui bahwa Naya akan menerbitkan buku terbaru, tentu saja aku sangat antusias menantikannya. Jika kamu adalah pembaca setia karya-karya Naya, kamu mungkin juga sama sepertiku. Atau barangkali kamu belum tahu siapa Naya?

Abinaya Ghina Jamela (Naya) pertama kali dikenal sebagai penulis cilik saat ia menerbitkan buku kumpulan puisinya pada 2017. Saat itu bahkan ia belum genap delapan tahun. Pada tahun-tahun berikutnya, ia secara konsisten menerbitkan buku. Hingga  pada 2021 terbitlah buku kelima, yaitu Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru.

Buku apa ini?

Kumpulan Esai:
Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru

Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru merupakan buku kumpulan esai. Seperti pada buku kumpulan esai pertamanya, Mengapa Aku Harus Membaca?, Naya banyak membicarakan buku yang telah ia baca. Dari 17 esai dalam buku ini, terdapat sebelas esai yang ditulis berdasarkan hasil bacaannya. Selebihnya, Naya membahas beberapa film dan responsnya tentang kasus ataupun fenomena yang pernah dan sedang terjadi.


Cara Naya Menceritakan Hasil Bacaannya

Bagaimana anak berusia 12 tahun menceritakan hasil bacaannya dalam pikiranmu? Apakah dengan sekadar menyematkan identitas buku, lalu menceritakan isi buku serta membahas bagian yang ia sukai? Beruntungnya, tidak.

Membaca esai Naya tentang buku yang telah ia baca seperti mendengarkan gadis cilik ini bercerita. Naya melibatkan para pembaca dengan menggunakan kata ‘kamu’. Seperti Apakah kamu tahu atau pernah mendengar cerita mengenai migrasi hewan-hewan? (hlm. 2).

Alih-alih memperkenalkan buku yang akan ia ceritakan secara kaku, seperti menyebut judul buku, pengarang, penerbit, dan identitas buku lainnya, Naya lebih sering memulai tulisannya dengan menceritakan fenomena. Fenomena itu tentu saja berhubungan dengan buku yang akan ia ceritakan.  Seperti, saat akan menceritakan pengalamannya membaca novel Snow Flower karya Lisa See, Naya mengawalinya rasa simpati terhadap gadis-gadis di Cina yang menjalani tradisi pengikatan kaki atau sebelum membahas Empress Orchid karya Anchee Min dan Maharani karya Pearl S. Buck, ia menceritakan sosok Yehonala, seorang permaisuri paling berkuasa di Cina pada masanya.

Asyiknya lagi, Naya mengupas tokoh cerita secara detail. Dari satu tokoh novel saja, muncul pembahasan yang panjang. Ketika menceritakan penderitaan Kengah, seekor burung camar, dalam novel Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang, misalnya, Naya menghubungkanya dengan wabah yang menyerang daratan Eropa pada 1347 (hlm. 2); di sana juga muncul protes Naya tentang kelakuan manusia yang mencemari laut lewat pembuangan sisa minyak hitam dan kotoran manusia (hlm. 5). Belum lagi saat membahas tokoh lain, pembahasan akan semakin panjang.

Penulis cilik yang kritis ini menyampaikan penilaiannya dari berbagai aspek. Bisa dengan menceritakan tokoh favoritnya ataupun tokoh yang tidak ia suka karena alasan tertentu; membandingkan cerita yang ia baca dengan karya penulis sezaman; mempertanyakan keputusan penulis, baik dalam menggunakan suatu istilah maupun menentukan karakter tokoh; memuji penulis yang berhasil menulis kalimat yang rapi, deskripsi yang asik, dan narasi yang membuatmu tidak perlu tergesa-gesa menyimpan lagi bukunya karena membosankan (hlm.12); bahkan Naya tidak sungkan mengkritik penulis yang keliru dalam penggunaan istilah.

Bukankah sangat menyenangkan membaca ulasan buku seperti itu? Melalui tulisannya, Naya seperti memanggil-manggil untuk “Ayo, baca buku ini! Dijamin keren!”


Jadi Tahu Buku Apa Saja yang Dibaca Anak 12 Tahun Ini

Beberapa ulasan yang ditulis Naya sudah pernah dipublikasikan di blog pribadi maupun di akun instagramnya. Dari sana aku pun tahu bahwa buku-buku itu telah dibaca sekitar satu tahun belakangan. Aku pikir, siapa pun akan berdecak kagum saat mengetahui bahwa anak usia 11-12 tahun sudah membaca buku-buku itu. Aku saja belum!—ya, memang referensi bacaanku sangat minim, sih!

Sosok Abinaya Ghina Jamela

Ketika berpindah dari judul esai satu ke judul esai berikutnya, aku tidak berhenti berkata, “Keren sekali buku-buku yang dibaca Naya!” Dan jujur saja, dari begitu banyak yang ia paparkan tentang hasil bacaannya, aku baru membaca satu buku, yaitu novel Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang. Itu pun setelah Naya merekomendasikan buku tersebut di akun instagramnya satu tahun yang lalu—dan setelah menyunting tulisan ini aku segera mencari buku-buku yang disebutkan Naya di aplikasi iPusnas. 😂

Mendapati bahwa Naya memiliki daftar buku yang sangat keren—karena dengan membaca satu buku saja Naya bisa membahas banyak isu—membuatku berkilas balik, “Buku apa yang aku baca saat masih SD?” Hm, sependek ingatanku, bacaanku tidak jauh dari novel anak yang berlabel “untuk 7—12 tahun”, serial Lupus Kecil, komik Detektif Conan, dan ‘tanpa sengaja’ membaca karya Enid Blyton. Lumayan.

Walaupun buku-buku yang diceritakan Naya banyak yang belum kubaca, aku tidak merasa disudutkan. Mungkin kamu pernah bertemu dengan orang yang menggebu-gebu menceritakan isi buku yang sudah ia baca sambil menyudutkan orang lain, “Masa sih kamu belum baca buku itu?” Namun, melalui tulisannya dalam buku ini, Naya tidak melakukan hal yang menyebalkan itu. Yang ada malah aku yang tersindir: mengapa aku yang sudah 28 tahun ini tidak pernah seumur hidup membaca buku-buku keren yang diceritakan Naya? Ya, walaupun referensi bacaan setiap orang berbeda-beda, tetapi aku sendiri  merasa bahwa daftar bacaan Naya termasuk menarik dan penting untuk dibaca.


Apa dan Siapa yang Ada di Sekitar Naya?

Alih-alih menyampaikan informasi yang ia ketahui secara langsung, Naya lebih memilih mengatakan: Aku lalu mencari informasi tentang pengikatan kaki lewat internet dan ensiklopedia (hlm. 21); Aku mengetahuinya dari beberapa artikel (hlm. 22); Aku pernah membaca berita tentang… (hlm. 5).   

Apa pun alasan Naya, aku suka caranya melakukan itu. Dengan begitu, aku diingatkan terus-menerus: “Hei, jangan sekadar baca novelnya, tetapi cari tahu juga latar belakangnya, fakta-fakta di baliknya, informasi sejarahnya, biografi penulisnya!”

Sepertinya Naya ingin mengatakan bahwa informasi itu ia peroleh bukan karena tiba-tiba tahu; informasi bisa didapatkan dari mana saja. Ataukah Naya tidak ingin dianggap sebagai anak 12 tahun yang sok tahu? sehingga ia ingin mengatakan bahwa apa yang ia sampaikan merupakan hasil pencariannya di internet, membaca artikel ensiklopedia, dan menonton film? Apa pun alasan Naya, aku suka cara Naya melakukan itu. Dengan begitu aku diingatkan terus-menerus: “Hei, jangan sekadar baca novelnya, tetapi cari tahu juga latar belakangnya, fakta-fakta di baliknya, informasi sejarahnya, biografi penulisnya!” Ah, benar-benar tertampar, sudah!

Selain mencari tahu melalui artikel, berita, ataupun ensiklopedia, Naya juga sangat beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang responsif terhadap keingintahuannya. Hampir di setiap esainya ia  menyebut salah satu dari orang-orang ini atau keduanya: Bunda dan Om Mimo. Misalnya, Bunda juga bilang, sebaiknya aku membaca buku Lisa See yang berjudul Snow Flower (hlm. 21); atau Aku jadi ingat cerita Om tentang nasihat Mahatma Gandhi… (hlm. 6).

Pengalaman Naya berdiskusi dengan Bunda dan Om Mimo—seperti yang sering disebutkan Naya—jelas menambah referensinya dalam mengulas buku yang ia baca. Pada akhirnya, membaca buku Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru ini tidak hanya memberitahuku tentang buku (dan juga film) yang menarik dan penting untuk dibaca. Lewat buku ini secara tersirat aku juga bisa mengetahui sebagian kecil lingkungan Naya. Naya memiliki ‘teman’ yang memberinya rekomendasi bacaan dan film, menjadi teman berdiskusi tentang isu apa pun, dan tentunya menjadi pendamping pertumbuhan Naya hingga bisa menjadi Naya yang sekarang.   


Tidak Hanya tentang Buku

Daftar Isi Buku
Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru

Seperti yang aku sampaikan di awal, buku ini bukan hanya berisi ulasan buku, tetapi juga ulasan film serta pemikiran Naya tentang fenomena yang menurutnya menarik untuk dibahas. Hanya ada tiga esai yang membahas film. Sisanya, Naya memaparkan pemikirannya tentang kota literasi impian, kasus rasisme dari waktu ke waktu, bahkan membahas kesenjangan yang ia rasakan sebagai anak perempuan.

Dari pembahasannya itu, memang terlihat bahwa Naya berdiri sebagai anak perempuan yang berani menyuarakan pendapat. Aku bahkan tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa seorang siswa SD berani bertanya kepada guru tentang mengapa hanya siswa laki-laki yang ditunjuk sebagai ketua kelompok (hlm. 113). Jika aku berperan sebagai guru Naya, sepertinya aku akan kebingungan mencari jawaban.


Yang Sangat Disayangkan

Kekagumanku dengan tulisan Naya dalam buku ini, sepertinya membuatku tidak bisa mengkritik banyak hal tentang isi buku ini. Aku bahkan masih belajar menulis dan merasa tertinggal dari kemampuan Naya yang dari tahun ke tahun semakin hebat. Namun, sebagai pembaca, aku kerap kali terganggu dengan banyaknya kata yang salah ketik, seperti eskpresi (hlm. 92), berkerja (hlm. 99), aka nada (hlm. 127), dan beberapa kata lainnya. Selain itu, banyak juga kata yang menggunakan tanda hubung dengan tidak semestinya, seperti sa-ling, men-jadi, ber-dasarkan, dan lain-lain—sepertinya bagian ini merupakan kesalahan saat mengatur tata letak. Semoga kesalahan itu dapat diperbaiki di cetakan selanjutnya—aku sih yakin saja buku ini memang akan cetak ulang!

____

Aku bisa menyimpulkan bahwa kumpulan esai Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru bisa dibaca oleh siapa pun. Bahkan anak-anak seusia Naya harus membaca buku ini. Di dalamnya banyak ajakan Naya untuk anak-anak dan remaja muda agar menjadi anak yang responsif terhadap lingkungan, berani menyampaikan pendapat, dan ya, tentu saja ajakan untuk membaca. Pembaca dewasa pun sebaiknya membaca buku ini agar dapat merasakan sentilan-setilan yang mungkin sebelumnya tidak pernah didengar dari sosok anak—atau bahkan tidak pernah kita lontarkan saat masih menjadi anak-anak dulu. Untukku sendiri, aku jadi punya referensi buku-buku bagus setelah membaca buku ini. Selamat atas karya terbarumu, Nay! 💓

 

Komentar

  1. Terima kasih, Wi, untuk apresiasinya atas karya Naya ❤️

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Wuaah, keren banget bacaannya Naya. Buku Empress Orchid karya Anchee Min itu baru aku baca pas aku kuliah. hahaha dan Naya sudah baca buku itu saat usia 12 tahun. Seusia Naya, aku baca buku apa yaa? Hahaha. Ddekat dengan buku, mmm... orang tua dan keluarga yang menjadi lingkaran pertama Naya, pasti banyak mempengaruhi kecintaannya terhadap buku. menginspirasi banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Keluarga sebagai lingkungan pertama anak pasti sangat memengaruhi. Salut, ya :) Terima kasih sudah mampir :)

      Hapus
  4. Mantap, terima kasih informasinya...

    BalasHapus
  5. Aku tahu naya baru belakangan ini dan membuatku terkagum-kagum. Aku membaca beberapa cerpennya. Luar biasa. Salut sekali pada orang tuanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Karya-karya Naya benar-benar mengagumkan :)

      terima kasih sudah mampir :)

      Hapus
  6. Luar biasa. Anak 12 tahun dengan talnta menulis di atas rata-rata. So Proud

    BalasHapus
  7. Woww... Jadi penasaran banget, pola pendidikan seperti apa yang diterapkan orang tuanya ya?

    BalasHapus
  8. Naya termasuk prodigy nih. Sudah pernah tahu tentang Naya dan buku yang dia terbitkan sebelumnya. Hanya sekadar membaca ttg Naya dan bukunya, belum baca. Sudah pernah browse juga tentang Naya dan medsosnya. Intinya...wow...semoga anakku nanti juga punya semangat baca dan tulis yang tinggi

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin. Semoga kita juga bisa membangun lingkungan yang positif untuk anak :)

      Terima kasih sudah mampir :)

      Hapus
  9. Wah, aku baru tahu tentang Naya dari artikel ini. Langsung ingin tahu lebih banyak deh, terutama tentang lingkungan (Bunda, Om Mimo) yang mendukung Naya bisa jadi seperti itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah, terima kasih sudah mampir :) Semoga tulisan ini bermanfaat :)

      Hapus
  10. Masyaa Allah, baru tahu ini tentang Naya, jadi penasaran tentang sosok Naya ini, salut untuk orangtuanya yang berhasil mendidiknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga tulisan ini bermanfaat :) Terima kasih sudah mampir :)

      Hapus
  11. IIh keren banget kecil2 udh produktif ya

    BalasHapus
  12. mbaa.. aku baru aja jg tau ttg Naya beberapa pekan yg lalu.. masyaAllah.. belief beliau punya orgtua yg selalu mendukungnya.. keren sekali 😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali. Bundanya sangat selektif memilih bacaan.

      Terima kasih sudah mampir :) semoga tulisan ini bermanfaat :)

      Hapus

Posting Komentar