Dua Buku yang Kubacakan untuk Janinku

Buku apa yang ingin kamu baca berulang kali?

Sudah banyak hasil penelitian yang mengatakan bahwa bercengkerama dengan janin saat masih di kandungan mendatangkan banyak manfaat. Salah satunya adalah menstimulasi bahasa bayi. Selain itu, bercakap-cakap dengannya juga dapat mempererat ikatan ibu dan bayi nanti.

Banyak cara bercengkerama dengan bayi, seperti bercerita, bernyanyi, mengaji, ataupun membacakan buku. Cara yang terakhir inilah yang kadang kala sulit aku kerjakan. Membacakan buku cerita untuk si janin ternyata tidak gampang.  Apa susahnya tinggal membacakan saja dengan suara lantang? Ternyata, yang membuatku kesulitan adalah melawan rasa malas. Haha.

Aku harus memilih buku cerita yang tipis dan yang ingin aku baca untuk kedua kalinya.

Janin dapat mendengar dengan jelas pada usia 24 minggu. Lantaa, aku bertekad membacakannya buku cerita pada usia itu. Karena yang kuhadapi adalah rasa malasku sendiri, aku harus memilih buku yang tidak membuatku bosan. Akhirnya aku memilih buku cerita yang tipis dan yang memang ingin aku baca untuk kedua kalinya. Membaca buku untuk kedua kalinya jarang kulakukan. Namun, akhirnya aku menemukan dua buku yang aku sendiri rela menghabiskan waktuku untuk membacanya kembali. Buku apa saja itu?

Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupéry

Le Petit Prince: Pangeran Cilik

Buku ini pertama kali diterbitkan pada 1943 dan kemudian diterbitkan—setelah diterjemahkan—oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011. Buku ini merupakan novel berbahasa Prancis yang paling banyak diterjemahkan—konon disadur dalam 230 bahasa. Karya Saint-Exupéry yang satu ini selalu dibicarakan; tak lekang oleh waktu dan bahkan dibaca oleh siapa saja, baik anak-anak maupun orang dewasa.

Buku ini terbilang tipis karena hanya terdiri atas 119 halaman. Namun, kisah yang diceritakan Saint-Exupéry lebih ‘tebal’ dari itu dan memunculkan interpretasi yang berbeda-beda atau bahkan berkembang saat membacanya lebih dari satu kali.

Berdasarkan label yang tertera di sampul belakangnya, buku ini untuk anak usia 12 tahun ke atas. Dan  aku membacanya pertama kali pada usia 26 tahun. Pada awalnya aku masih tidak paham saat membaca buku ini. Aku memang tidak terbiasa membaca buku terjemahan, sih. Jadi, aku pun masih beradaptasi atau bahkan memaksakan diri untuk menuntaskan buku ini.

Aku punya alasan konyol saat membeli buku ini—aku pun sudah menceritakannya sekilas di tulisanku sebelumnya. Aku terobsesi ingin membaca Le Petit Prince hanya karena ini merupakan novel pertama yang dibaca oleh Abinaya Ghina Jamela—seorang penulis cilik yang bertalenta—saat ia berusia lima tahun. Lima tahun! Usia yang sangat dini untuk membaca buku ‘berat’ ini kukira. Karena itu aku semakin penasaran untuk membacanya—dan memilikinya juga agar nanti anakku turut membaca karya fenomenal ini.

Jadi, novel ini bercerita tentang apa?

Seorang bocah, yang kemudian dinamai Pangeran Cilik oleh si pencerita (“Aku”), mendarat di bumi setelah meninggalkan planet tempat tinggalnya. Pangeran Cilik meminta si Aku membuatkan gambar domba dan dari sanalah perkenalan mereka bermula.

Pangeran Cilik kemudian menceritakan kisah hidupnya. Bagaimana cara ia merawat planetnya yang kecil; kisahnya saat merawat bunga mawar; keputusannya meninggalkan planet dan berkelana. Saat ia berkelana, ia bertemu dengan bermacam orang dewasa di planet yang berbeda-beda: seorang raja; seorang sombong; seorang pemabuk; seorang pengusaha; seorang penyulut lentera; seorang ahli ilmu bumi.

Aku menyukai kisah saat Pangeran Cilik bertemu dengan para orang dewasa ini. Pada setiap pertemuannya memunculkan sentilan-sentilan bahwa orang dewasa memiliki tabiat aneh yang sering kita jumpai pula di kehidupan nyata—atau dalam diri kita sendiri. Dan ketika Pangeran Cilik bertemu dengan mereka, lihatlah bagaimana seorang bocah bahkan lebih pintar dari orang dewasa.

“Orang-orang dewasa amat ganjil,” pikir Pangeran Cilik selama berjalan pergi (hlm. 48)

Aku sempat mengikuti Bincang Buku Le Petit Prince untuk lebih memahami isi buku ini. Acara itu diadakan oleh Read Aloud Yuk  pada 29 Agustus 2021 dan menghadirkan Ibu Ihdinal HT yang merupakan lulusan Sastra Prancis dan dimoderatori oleh Ibu Roosie Setiawan—aktivits Read-Aloud Indonesia. Dari acara itu aku mendapatkan interpretasi baru tentang buku ini, termasuk dalam aspek tokoh, latar, dan konflik yang muncul dalam cerita serta nilai-nilai yang tersirat di dalamnya. Aku akan menceritakan hasil perbincangan tersebut sesingkat mungkin.

Dalam Le Petit Prince muncul banyak tokoh yang membawa nilai filosofis tersendiri. Selain si Aku sebagai pencerita dan Pangeran Cilik, ada orang dewasa dengan berbagai profesi dan sifat; setangkai bunga mawar; seekor rubah; seekor ular. Selain itu, juga muncul benda mati lainnya yang sering disebut-sebut oleh pangeran Cilik dan muncul dalam ilustrasi, yaitu pohon baobab.

Ilustrasi Pohon Baobab


Pohon baobab merupakan pohon yang berperan sebagai penyeimbang ekosistem gurun. Namun, di dalam cerita pohon itu menjadi pengganggu karena tumbuh besar di planet Pangeran Cilik yang kecil. Agaknya, situasi ini sama seperti masalah dalam hidup yang dibiarkan tumbuh, lalu lama-lama menjadi besar dan mengganggu.

Pangeran Cilik juga merawat setangkai mawar di planetnya. Mawar dalam cerita ini memunculkan konflik batin bagi Pangeran Cilik. Disebabkan Mawar yang sulit dimengerti dan terlalu melankolis, Pangeran Cilik kesal dan memutuskan untuk meninggalkan planetnya. Namun, di bumi ia bertemu rubah yang menasihati Pangeran Cilik untuk bertanggung jawab untuk merawat bunga mawar yang telah ia tinggalkan.

“… Kamu menjadi bertanggung jawab untuk selama-lamanya atas siapa yang telah kamu jinakkan. Kamu bertanggung jawab atas mawarmu…” (hlm. 88)

Dari seekor rubah, Pangeran Cilik pun menyadari bahwa jika sudah menjinakkan–menciptakan pertalian—dengan sesuatu atau seseorang, hubungan yang terjalin akan semakin bermakna; yang biasa menjadi luar biasa; akan muncul ritual dan perasaan bahagia. Dan ia pun harus bertanggung jawab atas apa yang telah ia jinakkan.

Itu merupakan interpretasi orang dewasa. Bagaimana jika buku ini dibaca oleh anak-anak? Para peserta bincang buku saat itu sepakat bahwa buku ini pun akan diinterpretasikan oleh anak-anak sesuai dengan usia dan pengetahuan mereka. Ibu Anantya ‘membaca’ buku ini bersama anaknya yang masih berusia 3 tahun. Beliau menemani si anak ‘membaca’ gambar yang ada dalam Le Petit Prince. Bisa saja kesenangan anak dengan ilustrasi tersebut dapat menjadi daya tarik bagi anak untuk membaca buku tersebut pada saat ia sudah bisa membaca nanti.

Bagi pembaca dewasa, buku ini dapat menjadi bahan refleksi diri dan bahan interpretasi yang sangat luas. Sementara itu, bagi pembaca anak-anak, cerita ini penuh dengan fantasi dan ilustrasi yang menarik untuk dijadikan bahan cerita tersendiri. Pada intinya, buku ini dapat dibaca oleh level pembaca yang berbeda-beda untuk menghasilkan interpretasi yang beragam.


Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang karya Luis Sepúlveda

Buku ini terbit kali pertama pada 1996. Kemudian pada 2020 Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang ini diterbitkan oleh Marjin Kiri dan merupakan bagian dari Pustaka Mekar, yaitu seri buku Marjin Kiri untuk pembaca muda (anak-anak dan remaja).

Buku ini lebih tipis dibandingkan dengan Le Petit Prince: 89 halaman. Namun, pengalaman membaca buku ini merupakan hal yang menyenangkan bagiku sebab tidak ‘seberat’ Le Petit Prince. Buku ini bercerita tentang seekor kucing bernama Zorbas yang berjanji kepada seekor induk camar untuk menjaga anak camar. Tidak hanya menjaga, ia juga diminta melakukan sesuatu yang mustahil dilakukan oleh seekor kucing.

Dalam cerita ini muncul tokoh-tokoh lain yang menggemaskan, yaitu para kucing pelabuhan yang berusaha membantu Zorbas menuntas janji-janjinya. Kehadiran mereka menggambarkan kesetiaan dalam persahabatan para kucing yang membuatku haru.

“… Masalah satu kucing di pelabuhan ini adalah masalah semua kucing di pelabuhan ini,” Kolonel mencanangkan dengan khidmat. (hlm. 24)

Selain itu, bagian yang menggelitik dari novel ini adalah kritik mengenai tabiat manusia yang begitu kejam karena tidak bisa menjaga lingkungan. Karena itu, melalui novel ini pembaca mendapati perasaan yang campur aduk: haru, lucu, bahagia, prihatin, sekaligus malu.

… Dan sekarang kita ucapkan selamat tinggal kepada camar ini, korban bencana yang disebabkan oleh manusia. Mari julurkan leher ke arah bulan dan meongkan lagu perpisahan kucing-kucing pelabuhan.” (hlm. 38)

Saat membaca Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang untuk kedua kalinya, aku tetap merasakan imajinasi yang sama. Setiap aku membaca kalimat yang ditulis Luis Sepúlveda dalam buku ini, di benakku seperti ada adegan film yang sedang diputar. Bagaimana bisa kalimat-kalimatnya begitu hidup? Aku bisa memvisualisasi setiap gerakan tokoh bahkan membayangkan cara dan mimik wajah para tokoh saat mereka saling bercakap. Dan setiap ada Zorbas, di pikiranku muncul kucing gendut seperti Garfield—hanya saja Zorbas berwarna hitam pekat.


Buku ini akan mengajarkan anak untuk berempati, menuntaskan janji, dan mengasah pemikiran kritis mereka karena ada isu yang bisa didiskusikan dari buku ini, yaitu keselamatan lingkungan dan ketidakpekaan manusia. Sama seperti
Le Petit Prince, novel ini tidak hanya nyaman dibaca oleh pembaca anak-anak, tetapi juga pembaca dewasa. Cerita yang begitu menyentuh hati saat mengikuti kisah Zorbas yang berupaya memenuhi janjinya serta dukungan dari para kucing pelabuhan yang kocak membuatku rela membaca buku ini lagi, lagi, dan lagi.

 ***

Aku pikir dua buku tipis yang tidak ‘tipis’ ini sebaiknya ada di rak buku anak-anak sebab kisahnya tidak akan lekang oleh usia dan waktu. Kedua buku ini bisa dibaca atau dibacakan saat anak berusia berapa pun karena seiring berkembangnya pengetahuan dasar anak, maka berkembang pula interpretasi mereka terhadap bacaan dan tentu akan semakin seru jika dijadikan bahan diskusi antara anak dan orang tua.

Komentar

  1. mantap luar biasa, bagus sangat bermanfaat, semoga banyak orang yang membaca sehingga menambah wawasan untuk orang tua. terima kasih Dewi Syafrina anakku, sehat selalu dan sukses bersama keluarga, sehat Affandi menantuku.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Makasih banyak doa nya maaa..
      Sehat selalu ama dan apa di bukittinggi. InsyaAllah kami segera pulang. Doakan kami ya maa..hehehe.

      Hapus
  2. Wah, ak punya juga nih buku Le Petit Prince, tapi versi boardbook nya. Jadi saya melakukan interpretasi sendiri ketika baca buku ini sama anak. heheh. Tapi skrg jadi tau deh. Makasih ya mbak :)

    BalasHapus
  3. Membacakan bayi di kandungan cerita dan mendengaran lagu konon bermanfaat ya kak. Beruntungnya kakak bisa membaca kan crita ke bayinya. sehat terus ya kak

    BalasHapus

Posting Komentar