Di Kepalaku Menari-nari Sebuah Kalimat

 

Belum selesai aku membaca novel Telikung, aku terdorong untuk menulis. Di kepalaku menari kalimat ini: “Kami hidup sederhana.” Itu saja. Sepertinya kepalaku menyuruhku untuk menulis cerita kehidupan kami. Mari aku coba tuliskan.

***

Kami hidup sederhana. Kehidupan sederhana yang kumaksud adalah orang-orang yang kalau berbelanja akan banyak pertimbangan ini-itu. Jika ingin sesuatu, di kepala kami seperti ada alat menimbang-nimbang; apakah sebaiknya memang kami beli? Berapa harganya? Bukankah dengan harga segitu kami bisa membeli hal lain yang lebih berguna? Terlalu banyak menimbang, akhirnya sesuatu itu tidak hadir di hadapan kami. Soal makanan, kami lebih suka membuat sendiri. Sepertinya lebih hemat dan lebih sehat? Hemat adalah alasan yang pertama dan utama. Prinsipnya, jika bisa buat sendiri, mengapa harus beli? Karena pikiran semacam itu, donat seharga Rp3.000,00 per biji akan terasa mahal (karena tidak cukup beli satu, kan?” Sementara, jika kami bikin sendiri kami bisa makan sepuluh donat. Kami mengklaim lebih hemat, tetapi kami tidak pernah menghitung modal pembuatan donatnya berapa. Beda cerita jika kami membuat pizza. Sudah jelas lebih murah jika membuat sendiri di rumah, kan?

Kami hidup sederhana. Jika ingin membeli baju, harus betul-betul memikirkan untuk apa; bukan beli karena modelnya bagus saja. Seperti aku yang membeli beberapa potong baju tunik karena di lemari tidak ada baju yang bisa dipakai bepergian ke luar rumah atau bekerja—jika aku bekerja nanti—yang memiliki akses menyusui. Begitu pula saat membeli sepatu. Jika bukan karena aku dipanggil wawancara setelah melayangkan surat lamaran, sepertinya aku tidak akan beli sepatu.

Kami hidup sederhana. Makan apa saja yang ada di rumah; tidak banyak mengangankan kehendak yang tidak mungkin terpenuhi. Makan nasi dengan telur dadar saja sudah sangat nikmat—mengapa telur dadar itu enak sekali, ya? Kami masak sederhana, tidak banyak bermain bumbu. Masak sayur bening tanpa garam. Ikan goreng dilumuri cabe goreng. Sesekali masak sup ayam atau daging sapi. Kapan-kapan masak gulai. Paling jarang masak ayam karena di sini ayam mahal sekali—dibandingkan saat kami di rantau dulu; setiap minggu makan ayam sampai bosan. Dengan masakan apa pun yang ada di rumah, kami senang; perut kenyang. Jika ingin warna-warni sedikit, kami beli camilan yang masih dapat dijangkau kantong: es krim, roti bakar, martabak, sate.

Kami hidup sederhana dan punya keluarga besar yang baik. Ada saja pemberian dari orang tua (termasuk mertua) kepada kami sehingga kami bisa lebih berhemat. Tiba-tiba saja kami dikirimi camilan, lauk-pauk, sayuran, buah-buahan. Jika pulang dari rumah orang tua, kami selalu dibekali sesuatu. Dan sejak kami pulang dari rantau, kami tidak pernah membeli pakaian untuk anak karena baju dari kerabat apalagi dari neneknya begitu banyak. Jika dipikir-pikir, kalau pun kami punya banyak uang, kami tidak akan membeli baju sebanyak itu—sebab, untuk apa?

Kami hidup sederhana dan punya cita-cita besar. Kami ingin beli mobil secara tunai. Ingin beli mobil bukan karena merasa tidak cukup dengan kendaraan yang dimiliki sekarang. Akan tetapi, jika punya mobil, pergerakan kami akan lebih leluasa. Kami tidak perlu menunggu hujan reda sebelum berangkat; mudah membawa banyak barang jika menginap; bisa mengajak orang lain untuk bepergian;; bisa bepergian jauh dengan leluasa. Karena cita-cita kami itu, setiap bepergian keluar rumah, yang selalu kami bicarakan adalah mobil-mobil yang kami lihat di jalanan. “Kalau itu harganya berapa?”; “Kalau yang tadi kursinya berapa baris?”; “Bagasinya besar, tidak?”; “Sepertinya warna yang tadi bagus.” Lalu, saat mobil impian kami lewat, kami bacakan salawat. Mudah-mudahan suatu saat terkabul.

Kami hidup sederhana.

 ***

Aku bingung menulis apa lagi tentang kehidupan yang sederhana. Kapan-kapan aku lanjutkan lagi. Pas sekali anakku bangun. Dah!

Komentar